Kamis, 13 April 2017

KAJIAN IlMU BUDAYA
Pengantar Ilmu Budaya


Dosen: Dr. Zaim Elmubarok, M.Ag.




Disusun oleh :
Renita Fitriani
Andi Saputra Aji
Hanik Khomisiyah Ulfah
Elok Mutiara Rakhmawati
Endah Rahmawati
Adit Budi Pratama
Ninik Suryani
Rizky Muhammad Sya’ban Ghufroni



Universitas Negeri Semarang
Fakultas Bahasa dan Seni
Jurusan Bahasa dan Sastra Asing
2013





KAJIAN BUDAYA

Pendahuluan
Kajian budaya atau cultural studies adalah sebuah fenomena pascamodern dalam dunia akademis tentang mengaburnya batas-batas antar disiplin. Dalam bab ini kita akan mengkaji berbagai macam persoalan tentang kebudayaan nominalis. Hal yang sering terlupakan dalam perbincangan lintas displin dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora adalah kajian budaya juga melibatkan gagasan tentang perlintasan antara teori dengan tindakan. Dan disinilah pokok persoalan sesungguhnya yaitu membedakan kajian budaya dengan disiplin lainnya.
Posisi teori dalam kajian budaya mendapat tempat tertinggi dalam kajian budaya. Konstruksi teori melibatkan pengkajian konsep dan argumentasi, seringkali mendefinikan ulang atau mengkritik hasil kerja sebelumnya untuk mencari alat baru yang digunakan untuk berfikir atau memahami dunia.
Adanya perdebatan tentang epistemologi, kita bisa memilih metode-metode mana yang paling banyak digunakan dalam kajian budaya, meskipun para peneliti mempunyai pendapat yang berbeda dalam menilai keunggulan dari masing-masing metode. Kita dapat memulai dengan pembedaan metodologis standar antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Wilayah garap dalam kajian budaya sangat luas. Kajian budaya bukan bangunan yang netral, hal ini yang mengakibatkan kajian budaya merambah hampir ke seluruh wilayah pengetahuan. Secara sederhana Melani Budiantara memetakan wilayah garap kajian budaya menjadi tiga:
Poskolonial-Nasional-Transnasional
Gender, Ras, dan Etnis
Sastra/Budaya Pop, Pembaca dan Institut

Medan minat kajian budaya banyak menyorot berbagai macam bidang. Mulai dari identitas yang dipandang bersifat kultural. Seks, subjek, representasi dalam kajian budaya dilihat sebagai konstruksi-konstruksi sosial yang secara intrinsik terimplikasi dalam persoalan representasi. Karena identitas seksual di pandang bukan merupakan masalah esensi biologis yang universal melainkan persoalan bagaimana feminitas dan maskulinitas dibicarakan, maka fenimisme kajian budaya seharusnya memberi perhatian pada masalah-masalah representasi. Remaja, gaya, perlawanan, meskipun lebih jarang dibahas usia adalah patokan klarifikasi stratifikasi sosial yang penting. Televisi, teks, penonton juga sangat mempengaruhi perkembangan kajian budaya. Televisi mendapat perhatian dalam kajian budaya karena kedudukan sentralnya dalam praktik komunikasi masyarakat modern. Permasalahan ruang dan kota merupakan masalah hubungan-hubungan sosial tentang kelas, gender, etnisitas atau dengan kata lain tempat-tempat kekuasaan dicirikan dengan adanya persaingan dalam makna-maknanya. Politik kebudayaan merupakan kekuasaan untuk menamai merepresentasi dunia dengan nilai-nilai tertentu untuk mencapai konsekuensi yang diharapkan.
Kajian budaya berkembang awal abad ke-20, sebagai pergerakan hal ini memusatkan pikiran pada analisis cabang kebudayaan dalam masyarakat industri yang konsumtif. Studi budaya sebagai studi yang sangat populer saat ini, mengkombinasikan konsep dan teori ekonomi politik, sosiologi, teori sosial, studi video, antropologi budaya, filsafat dan sejarah sangat perlu dan menarik untuk dikaji atau dibahas. Terlebih peradaban kontemporer kita yang diduduki ideologi kapitalisme, sebagai wujud pertahanan terhadap hegemoni barat. Maka kajian budaya membangun sebuah kerangka kerja yang berusaha menempatkan dan menemukan kembali kebudayaan dari kelompok-kelompok yang sampai sekarang dilupakan.
Kajian  budaya di Indonesia pada tahun-tahun pertama kemunculannya, jurnal Kalam telah membawa atau menunjukkan semangat kebaruan yang menyegarkan bagi penelitian budaya yang ada di Indonesia. Kalam muncul ketika perdebatan tentang pascamodernisme masih hangat. Disini kebudayaan dianggap sebagai suatu gejala sosial yang bisa didefinisikan dan diukur dengan tepat dengan metode yang sering digunakan adalah survai dan analisis isi. Namun ada juga beberapa debat, diskusi, seminar, atau konferensi yang menjadi pendorong tumbuhnya kajian budaya yang berkembag di Indonesia.
Masih banyak lagi permasalahan-permasalahan yang harus dibahas dalam materi Kajian Budaya ini. Bahkan mungkin ada beberapa kajian budaya yang belum tersentuh perhatian oleh para peneliti untuk dikaji lebih dalam. Dalam bab ini banyak hal menarik untuk diperbincangkan. Terlebih dengan medan minat kajian budaya yang sangat luas. Diperkenalkan juga metode-metode dalam mengkaji sebuah kebudayaan. Dan diharapkan mampu menganalisis perkembangan dari kebudayaan dari awal berkembangnya kebudayaan pada abad 20 hingga saat ini. Dengan di ambil dari beberapa referensi penelitian serta tulisan para peneliti handal diharapkan mampu memperkuat tulisan makalah yang kami buat.
 Tujuan dibuatnya pembahasan tentang kajian budaya (cultural studies) adalah agar para mahasiswa mampu dengan mudah mempelajari atau mengkaji tentang kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya. Selain itu agar kita lebih mengenal kebudayaan yang ada di sekitar kita dan mengetahui sudah sejauh mana perkembangan kebudayaan di Indonesian dalam ranah Globalisasi ini.



KAJIAN BUDAYA

A. Cultural Studies
Kajian budaya (cultural studies) adalah sebuah fenomena pascamodern dalam dunia akademis tentang mengaburnya batas-batas antardisiplin. Gagasan lintas-disiplin dalam kajian budaya juga melibatkan gagasan tentang perlintasan antara teori dengan tindakan. Inilah yang membedakan kajian budaya dengan disiplin lainnya, yaitu hubungan kajian budaya dengan soal-soal kekuasaan dan politik. Kajian budaya merupakan bangunan teori yang dihasilkan oleh pemikir yang menganggap produksi pengetahuan teoritis sebagai suatu praktik politis. Disini pengetahuan tidak pernah dipandang sebagai fenomena netral atau objektif, melainkan sebagai persoalan posisionalitas, persoalan dari mana, kepada siapa dan dengan tujuan apa seorang bicara.
Yang dimaksud dengan budaya dalam kajian budaya adalah medan nyata di mana praktik-praktik, representasi-representasi, bahasa dan kebiasaan-kebiasaan suatu masyarakat tertentu berpijak. Ilmu budaya sering dikaitkan dengan antropologi karena antropologi memiliki fokus kajian pada kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat. Ilmu antropologi merupakan ilmu pegetahuan modern yang dapat digunakan untuk mengkaji dan memahami berbagai suku bangsa (etnis) yang ada di Indonesia dan suku bangsa di berbagai penjuru dunia.
Kajian disiplin ilmu lain telah terlebih dahulu mendefinisikan istilah budaya (culture) yang dimasukkan ke dalam konsep masing-masing disiplin humaniora dan sosial, seperti antropologi, sosiologi, politik, ekonomi dan seterusnya. Koentjaraningrat memberikan definisi budaya sebagai sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990: 180). Dan, James Spradley nampaknya hampir sependapat dengan Koentjaraningrat. Ia mengatakan budaya merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang kemudian mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekelilingnya, sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekitar.
Lebih khusus, dalam terminologi disiplin Kajian Budaya (Cultural Studies) menyajikan bentuk kritis atas definisi budaya yang mengarah pada “the complex everyday world we all encounter and through which all move” (Edgar, 1999: 102). Budaya secara luas adalah proses kehidupan sehari-hari manusia dalam skala umum, mulai dari tindakan hingga cara berpikir, sebagaimana konsep budaya yang dijabarkan oleh Kluckhohn. Pengertian ini didukung juga oleh Clifford Geertz, kebudayaan didefinisikan serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana dan petunjuk-petunjuk yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Dalam kajian budaya atau Cultural Studies (CS), konsep budaya dapat dipahami seiring dengan perubahan perilaku dan struktur masyarakat di Eropa pada abad ke-19. Perubahan ini atas dampak dari pengaruh teknologi yang berkembang pesat. Istilah budaya sendiri merupakan kajian komprehensif dalam pengertiannya menganalisa suatu obyek kajian. Contohnya, selain ada antropologi budaya juga dikaji dalam studi Sosiologi, Sejarah, Etnografi, Kritik Sastra bahkan juga Sosiobiologi. Fokus studi kajian budaya (CS) ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya pop. Di dalam tradisi Kajian Budaya di Inggris yang diwarisi oleh Raymonds Williams, Hoggarts, dan Stuart Hall, menilai konsep budaya atau “culture” (dalam bahasa Inggris) merupakan hal yang paling rumit diartikan sehingga bagi mereka konsep tersebut disebut sebuah alat bantu yang kurang lebih memiliki nilai guna.

B. Posisi Teori dalam Kajian Budaya
Dalam kajian budaya (cultural studies), dikenal istilah teori. Ini bukan teori apapun, atau teori dalam pengertian umum yang seringkali didefinisikan sebagai:
1) suatu rumusan aturan formal yang menjadi dasar bagi suatu kajian dalam suatu bidang ilmu, atau
2) seperangkat gagasan sistematik yang dapat digunakan untuk menjelaskan suatu fakta atau  kejadian.
Teori di sini juga tidak sama dengan teori kesusasteraan (literary theory), yang umumnya didefinisikan sebagai seperangkat gagasan sistematik yang dipakai untuk mengkaji hakikat sastra, atau seperangkat metoda yang dipakai untuk menganalisis karya sastra.
Istilah teori dalam kajian budaya agak sulit didefinisikan karena mencakup banyak bidang kajian ilmu (multidisipliner). Namun demikian, menurut Culler (1997), teori memiliki sejumlah sifat yang menjadi ciri khasnya.
Sifat pertama dari teori adalah spekulatif. Artinya, penjelasan yang ditawarkannya tidak obvious (kentara, gampang, mudah dilihat dan/atau dimengerti); teori menawarkan penjelasan yang lebih dari sekedar hipotesis karena di dalamnya terdapat relasi-relasi yang kompleks dan sistematik antar-sejumlah faktor, dan oleh karena itu apa yang dikemukakannya tidak dapat dengan mudah dikukuhkan atau dibantah kebenarannya.
Selain kedua sifat di atas, teori juga dapat dikenali dari pengaruhnya dalam menggugat ‘common sense’ (apa yang secara nalar dianggap benar). Teori dalam hal ini berusaha menunjukkan bahwa apa dianggap benar secara nalar – dan telah kita terima sebagai sesuatu yang semestinya – bisa jadi hanya merupakan konstruksi sejarah. Teori menawarkan pemahaman alternatif dengan mempertanyakan pengertian dan asumsi-asumsi dasar yang melandasi pengertian kita.
Sebagai konsekuensi dari hal di atas (kemampuannya menggugat ‘common sense’), teori bersifat menggerakkan. Artinya, dengan bercermin pada hal-hal yang telah digugat oleh teori, orang dibuat tergerak untuk mempertanyakan ‘common sense-common sense’ lain.
Dalam kajian budaya yang teoretis dan tidak empiris bahwa teori bisa dipahami sebagai narasi yang bertujuan memilah-milah dan menguraikan ciri-ciri umum yang mendeskripsikan, mendefinisikan dan menjelaskan kejadian-kejadian yang terus-menerus muncul. Bagaimanapun, terori tidak memotret dunia secara akurat , ia adalah alat, instrumen atau logika untuk mengatasi dunia melalui mekanisme deskripsi, definisi, prediksi, dan kontrol. Konstruksi teori adalah usaha diskursif yang sadar diri (self-reflexive) yang bertujuan menafsirkan dan mengintervensi dunia.
Konstruksi teori melibatkan pengkajian konsep dan argumen-argumen. Pengkajian teoretis bisa dianggap sebagai peta-peta kultural yang menjadi panduan kita. Kajian budaya menolak klaim para empiris bahwa pengetahuan hanyalah masalah mengumpulkan fakta yang digunakan untuk mendeduksi atau menguji teori. Teori dipandang implisit dalam penelitian empiris. Dengan kata lain “fakta” tidaklah netral dan tidak ada tumpukan fakta yang bisa menghasilkan kisah tentang hidup kita tanpa teori. Bahkan, teori adalah kisah tentang kemanusiaan yang punya implikasi untuk tindakan dan penilaian-penilaian tentang konsekuensi.
Kajian budaya ingin memainkan peran demistifikasi untuk menunjukkan karakter kebudayaan dan berbagai mitos dan ideologi yang tertanam didalamnya, dengan harapan bisa melahirkan posisi-posisi subjek dan subjek-subjek sungguhan yang mampu melawan subordinasi. Bennet (1992) mengatakan bahwa kebanyakan politik tekstual yang dihasilkan kajian budaya :
Tidak berkaitan dengan banyak orang
 Mengabaikan dimensi institusional kekuasaan kultural
Menurut  Culler (pp. 14 – 15) menyimpulkan bahwa teori mempunyai empat ciri utama, yaitu:
1. Ia bersifat interdisipliner. Artinya, wacana yang dilontarkannya mampu mempengaruhi bidang-bidang kajian di luar bidang kajian dari mana wacana itu semula berasal.
2. Ia bersifat analitis dan spekulatif seperti yang telah dijelaskan di atas.
3. Ia menjadi kritik atas ‘common sense’ atau konsep-konsep yang telah dianggap sebagai wajar atau alamiah.
4. Terakhir, teori bersifat refleksif. Ia adalah berpikir tentang berpikir, ia menyelidik dan mempertanyakan kategori-kategori yang kita gunakan untuk memahami segala sesuatu dalam kesusasteraan maupun praktik-praktik kewacanaan lain.

C. Metode-metode Utama dalam Kajian Budaya
Meski ada perdebatan tentang epistemologi, kita bisa menunjuk dengan jelas
metode-metode mana yang paling banyak dipakai dalam kajian budaya dan media. Bahkan
para peneliti akan berbeda dalam melihat keunggulan masing-masing metode. Kita bisa
mulai dengan pembedaan metodologis standar antara metode penelitian kuantitatif dan
kualitatif. Dimana metode-metode kuantitatif lebih terpusat pada angka-angka dan
penghitungan (seperti statistik dan survey). Sedangkan metode-metode kualitatif lebih
berkonsentrasi pada pemaknaan yang dihasilkan atau dikumpulkan melalui observasi
partisipan, wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah dan analisis tekstual. Secara
keseluruhan, kajian budaya dan media lebih menyukai memadukan metode-metode
kualitatif dengan perhatiannya pada makna kebudayaan.
1. Etnografi
Secara etimologis kata etnografi berasal dari dua kata bahasa Latin, yakni ethno (suku bangsa) dan graphein (pelukisan atau penggambaran). Dengan demikian etnografi berarti penggambaran atau pelukisan suatu suku bangsa tertentu yang dihasilkan oleh orang antropolog yang melakukan penelitian untuk menjelaskan atau mendeskripsikan kebudayaan suatu suku bangsa yang ditelitinya (dalam Antropolgi kelas XII SMA/MA, 2012: 125). Jadi, etnografi adalah pendekatan empiris dan teoritis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Menurut Geertz (1973) etnograf bertugas membuat thick descriptions (pelukisan mendalam) yang menggambarkan ‘kejamakan struktur-struktur konseptual yang kompleks’, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap dan taken-for-granted (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan.
Para etnograf lebih berkonsentrasi pada penjelajahan kualitatif (nilai dan angka) dalam mengkaji budaya di suatu masyarakat dengan menggunakan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam untuk memperoleh data yang akurat.
Bukannya tidak ada kritik terhadap etnografi. Menurut James Clifford (1988) sendiri dalam bukunya “The Predicament of Culture: twentieth-century ethnography, literature, and art” yang membahas tentang bagaimana sesungguhnya kekuatan etnografi itu sendiri, juga mengatakan bahwa permasalahan utama suatu karya etnografi adalah ketika ia hanya banyak menggambarkan suatu kelompok sukubangsa dalam kesan terpencil, eksotis dan seolah-olah terlepas dari realitanya .
Lalu apa kemudian yang harus kita lakukan?, Clifford menyarankan beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh seorang antropolog untuk dapat memperkuat dan memperkaya suatu karya etnografi, antara lain dengan (1) penguatan visi dari aspek personality dari peneliti, dimana didalamnya terdapat aspek profesionalitas dan legalitas peneliti itu sendiri; (2) penguasaan bahasa setempat sebagai penghindaran perbedaan interpretasi antara peneliti dan informan; (3) sebuah etnografi haruslah ditandai dengan kemampuan dan kejelian dari peneliti untuk menemukan ciri-ciri budaya yang ada dalam kebudayaan sukubangsa yang ditelitinya, dan yang keempat (4) adalah kekuatan dari teori yang digunakan oleh peneliti guna membantu menusuk ke jantung permasalahan kebudayaan daripada hanya sekedar memberikan harapan-harapan kosong.
2. Pendekatan Tekstual
Pendekatan tekstual adalah pendekatan dalam antropologi budaya yang memandang fenomena kesenian sebagai suatu teks yang relatif berdiri sendiri. Sebuah seni pertunjukan, misalnya, dianggap sebuah teks yang harus dibaca dan ditafsirkan. ada dua corak analisis yang paling banyak dipakai dalam kajian budaya dan media, yaitu semiotika dan teori narasi.

a. Teks sebagai Tanda (Semiotik)
Semiotik meliputi semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia. Misalnya analisis semiotik tentang media adalah “menggambarkan bagaimana berita televisi itu representasi yang dikonstruksi dan bukan sebuah cermin realitas”. Representasi-representasi media yang sarat nilai dan selektif bukanlah gambaran yang “akurat” tentang dunia realitas. Melainkan medan-medan pertempuran untuk memperebutkan apa yang akan dianggap
sebagai makna dan kebenaran. Televisi memang tampak seolah “realistik” karena ia
penyuntingannya yang halus dan potongan-potongannya yang tak kentara. Tetapi realisme
ini dibentuk oleh sekumpulan konvensi estetis, dan bukan refleksi “dunia realitas”.

b.Teks sebagai Narasi (Strukturalisme)
Narasi adalah penuturan yang tertata dan urut (sekuensial). Kelahiran strukturalisme dipicu oleh konsep yang terkandung dalam ilmu lingustik. Bahwa kesenian, layaknya bahasa yang ingin menyampaikan sesuatu lewat dirinya sendiri. Dengan demikian, kesenian itu merupakan bahasa tutur itu sendiri. Dan layaknya bahasa, yang memiliki aturan-aturan kecil atau aspek-aspek di dalamnya, yang dinamakan struktur bahasa – dan karenanya membentuk suatu pemahaman kolektif antar penuturnya – maka kesenian yang dipandang sebagai bahasa ini pun harus dipahami lewat aturan-aturan atau prinsip-prinsip yang ada. Atau dengan kata lain, dipahami lewat sebuah struktur. Salah satu contohnya adalah dengan membahas lampu lalulintas yang berwarna merah-kuning-hijau tersebut sebagai objek kajiannya. Maka, pemakaian simbol warna dalam lampu lalulintas tersebut dapat dilihat sebagai suatu refleksi dari pola-pola tertentu yang sebelumnya sudah ditetapkan sifatnya dalam pikiran orang.

3. Kajian-kajian Resepsi
Para ahli kajian resepsi atau konsumsi sering berpretensi bahwa analisis tekstual
atas makna yang dilakukan seorang penulis, masih belum bisa dipastikan. Makna-makna
yang manakah, ”kalau memang ada”,yang bisa diambil manfaatnya oleh
pembaca/konsumen/khalayak yang sesungguhnya. Artinya khalayak adalah merupakan
pencipta makna yang aktif dalam hubungannya dengan teks. Mereka menerapkan berbagai
kompetensi kultural yang diperoleh sebelumnya untuk membaca berbagai teks, sehingga
khalayak dengan konstruksi yang berbeda akan memahami makna-makna yang beragam
itu (Pengantar Ilmu Budaya, 2010: 29).

D. Wilayah Garap Kajian Budaya
Menurut Stuart Hall dalam bukunya yang berjudul “Cultural Studies and Its Theoritical Legacies” mengatakan bahwa harus ada sesuatu yang dipertaruhkan dalam cultural studies untuk membedakannya dari wilayah subjek lain.
Untuk melihat lebih jauh pemikiran yang dipertaruhkan oleh Stuart Hall tentang cultural studies, (lihat Zianuddin Sardar dan Borin Van Loon, 2001:35-38) adalah kaitan-kaitan cultural studies dengan persoalan-persoalan kekuasaan dan politik, dengan kebutuhan akan perubahan dan representasi dari kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan, terutama representasi yang menyangkut kelas, gender, dan ras (bahkan juga usia, penyandang cacat, nasionalitas, dan sebagainya).
Dengan perspektif Hall ini, maka dapat disimpulkan bahwa kajian budaya bukanlah bangunan pengetahuan yang netral, malah menganggap bahwa produksi bangunan pengetahuan adalah tindakan politik. Hal ini yang mengakibatkan kajian ini menambah hampir seluruh wilayah pengetahuan. Secara  sederhana, menurut pemetaan yang dilakukan oleh Melani Budianta, wilayah garap kajian budaya dapat dipetakan menjadi tiga, wilayah tersebut adalah :
1. Poskolonial-Nasional-Transnasional
Klasifikasi ini menjadi wakil dari tiga masa atau fase sejarah yang menantang dan sepertinya menjadi keharusan untuk dilalui oleh negara-negara dunia ketiga. Disaat mereka baru melepaskan diri dari kolonialisme, pada saat yang sama mereka dipaksa untuk merumuskan budaya nasional ditengah fenomena transnasional akibat globalisasi. Kondisi ini merupakan wilayah kajian yang menantang. Untuk studi ini, bisa diambil contoh misalnya, Edward W. Said (Lazuardi. Luna, Studi Kolonialisme. Dimuat dalam newsletters KUNCI no.8, September 2000. Lihat juga Zianuddin Sardar dan Borin Van Loon, 2001: 106-114) dengan orientalisme-nya, dan Bennedict Anderson (Juliastuti, Nuriani. Pendekatan Budaya Ben Anderson. www.kunci.or.id, 18 Desember 2003) dalam Komunitas Imajiner-nya.

2. Gender, Ras, dan Etnisitas
Pengaturan norma dan perilaku yang diperlakukan atas dasar perbedaan jenis kelamin (Gender), Ras, dan Etnisitas merupakan proses sejarah. Ini semua bersifat cultural melalui majalah-majalah wanita, karya sastra, ikalan, televisi, dan institusi negara maupun agama. Misalnya kajian Paul Gilroy yang menganalisis tradisi absolutisme etnis/agama dan nasionalisme dari berbagai teks fiksi, sejarah, dan tokoh kulit hitam Inggris dan Amerika. (Sardar.Zianuddin dan Borin Van Loon,2001: 122-153).

3. Sastra/Budaya Pop, Pembaca, dan Institusi

Kajian budaya jenis ini memperkaya sosiologi sastra dan sejarah sastra dalam meneliti kaitan teks dengan sistem-sistem yang ikut menentukan keberadaannya (reproduksi, pengayom, pengarang, pembaca, kritikus). Misalnya kajian David Glover dan Cora Caplan yang mengkaji sejumlah asumsi dibalik genre fiksi kriminal.


E.Medan Minat Kajian Budaya
1.Identitas
         Dalam kajian budaya identitas dipandang bersifat kultural dan tidak punya keberadaan diluar repesentasinya dalam wacana kultural. Identitas bukan suatu yang tetap yang bisa kita simpan , melainkan suatu proses menjadi. Etnisitas, ras dan nasionalitas adalah konstruksi-konstruksi diskursif-performatif yang tidak mengacu pada benda-benda yang sudah ada. Artinya, etnisitas ras dan nasionalitas merupakan kategori-kategori kultural yang kontingen dan bukan fakta ‘biologis’ yang universal. Sebagai konsep, etnisitas mengacu pada pembentukan dan pelanggengan batas-batas kultural dan punya keunggulan dalam penekanannya pada sejarah, budaya dan bahasa.
      Ras adalah sebuah gagasan problematis karena asosiasinya dengan wacana biologis tentang superioritas dan subordinasi yang intrinsik dan tak terhindarkan. Meski demikian, konsep rasialisasi atau pembentukan ras punya kegunaan karena menekankan pada kekuasaan, kontrol dan dominasi.
      Contoh : studi Butler tentang kontruksi identitas seksual, studi Gilroy dalam (Woodward, 1987) dan Hall (1992) tentang identitas orang kulit hitam di Inggris , studi Ben Anderson (1991) tentang bangsa sebagai komunitas terbayangkan, studi Brah (1996) tentang diaspora.
2.Seks, Subjek, Representasi
      Dalam kajian budaya, seks dan gender dilihat sebagai konstruksi-konstruksi sosial yang secara intrinsik terimplikasi dalam persoalan presentasi. Seks dan gender lebih merupakan persoalan kultural ketimbang alam. Meski ada juga pemikiran feminis yang menekan pada perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan kajian budaya cenderung mengeksplorasi gagasan tentang karakter identitas seksual yang spesifik secara historis, tidak stabil, plastis dan bisa berubah.
       Karena identitas seksual di pandang bukan merupakan masalah esensi biologis yang universal melainkan persoalan bagaimana feminitas dan maskulinitas di bicarakan maka feminisme dan kajian budaya seharusnya memberi perhatian pada masalah-masalah seks dan respresentasi. Dan mendapatkan bahwa perempuan di seluruh dunia terkonstitusi sebagai kelamin yang kedua tersubordinasi di abawah lelaki.
3.Televisi, Teks, Penonton
        Sudah lama televisi mendapat perhatian dalam kajian budaya karena kedudukan sentralnya dalam praktik komunikasi masyarakat modern. Perhatian menjadi makin kuat seiring pergeseran televisi global dari jasa penyiaran publik menjadi televisi komersial yang didominasi perusahaan multimedia dalam pencarian maka akan sinergi dan konvergensi. Peredaran global narasi dan genre-genre utama televisi seperti berita, opera sabun, televisi musik, olahraga dan permainan-permainan.
     Pentingnya televisi tidak bisa dibatasi pada makna-makna tekstual karena televisi di tempatkan dan dialami dalam aktivitas hidup sehari-hari. Meski ekonomi politik dan arus program televisi memang bersifat global, aktivitas menonton televisi tersituasikan dalam praktik-praktik domestik sehari-hari.
     Contoh : studi Ang tentang penonton serial Dallas (1985) studi Widodo tentang sinetron (2003), studi Lull (1991) tentang penonton televisi di Cina, studi Kurniawan Adi tentang penonton film Indonesia (2002) studi Budiman (2002) tentang keluarga dan televisi keluarga dan televisi di Yogyakarta.
4.Ruang Kota
         Ruang selalu merupakan masalah hubungan-hubungan sosial tentang kelas, gender, etnisitas, dan sebagainya atau dengan kata lain, tempat-tempat kekuasaan dicirikan dengan adanya persaingan dalam makna-maknanya. Kota tidak pernah merupakan sesuatu yang tunggal melainkan selalu termanifestasi diperebutkan. Dari prespektif ekonomi politik kita mencatat kemunculan kota-kota global sebagai titik-titik komando ekonomi dunia. Penstrukturan ulang kota adalah salah satu aspek reorganisasi ekonomi global.
 5. Remaja, Gaya, Perlawanan
Gambaran-gambaran tentang masa anak-anak, remaja, dewasa, lanjut usia, pensiunan, merupakan kategori-kategori identitas yang mengandung berbagai konotasi mengenai kemampuan dan tanggung jawab. Remaja adalah klasifikasi kultural dari suatu rentang usia yang elastis yang dikodekan secara ambigu oleh orang dewasa sebagai indikasi ‘masalah’ dan ‘kesenangan’. Orang muda mengusung harapan orang dewasa untuk masa depan sekaligus menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran.
Karya-karya awal kajian budaya Inggris melihat subkultur muda yang spektakuler sebagai manifestasi perlawanan simbiolik terhadap tatanan kelas yang berkuasa. Ada tiga alat-alat analitik penting :  (a) Konsep homologi dimana benda-benda simbiolik subkultural dianggap sebagai ekspresi dari keprihatian dan posisi-posisi struktural tersembunyi kelompok muda. (b) Brikolase, dimana simbol-simbol yang sebelumnya tidak terkait kemudian dipadukan untuk menciptakan makna-makna baru. (c) Gaya,  suatu brikolase simbol yang membentuk suatu ekspresi yang koheren dan bermakna.
6. Politik Kebudayaan
Politik kebudayaan merupakan kekuasaan untuk menamai dan mempresentasi dunia, dimana bahasa bersifat konstitutif bagi dunia dan menjadi paduan untuk bertindak. Politik kebudayaan bisa dipahami sebagai serangkaian pergulatan kolektif yang diorganisir di seputar kelas, gender, ras seksualitas, usia dan lain-lain, yang hendak mendiskripsikan ulang dunia sosial  berdasar nilai-nilai tertentu dan untuk mencapai konsekuensi-konsekuensi yang di harapkan.

F.  Kajian Budaya (Cultural Studies) Abad 21
Studi budaya berkembang awal abad ke-20, antara lain lewat masuknya pemikiran Marxis ke dalam sosiologi, dan antara lain lewat artikulasi sosiologi dan disiplin akademis lain seperti kritik sastra. Sebagai pergerakan, hal ini memusatkan pikiran pada analisis cabang kebudayaan dalam masyarakat industri yang konsumtif. Mengikuti tradisi bukan antropologi, studi budaya secara umum memusatkan pikiran pada penelitian barang-barang konsumsi (seperti mode, seni, teknologi dan kesusastraan).
Studi budaya menggabungkan sosiologi, teori sastra, film/studi video, dan antropologi kebudayaan untuk belajar segala kebudayaan di masyarakat tertentu. Studi budaya memfokuskan bagaimana gejala khusus berhubung dengan ideologi, ras kelas sosial, dan atau jenis kelamin. Singkat kata wilayah studi budaya adalah makna dan praktik kehidupan sehari-hari. Misalnya orang-orang yang melakukan hal-hal khusus , seperti menonton televisi, kepemilihan ponsel, makan, kebiasaan membaca, menggunakan parfum, cara bicara, dan lain sebagainya.
Praktisnya studi budaya sebagai studi yang sangat populer saat ini, mengkombinasikan konsep dan teori ekonomi politik, sosiologi, teori sosial, studi video/film, antropologi budaya, filsafat dan sejarah. Dengan demikian studi budaya sendiri berkarakter interdisiplin. Studi budaya tidak mempunyai ranah intelektual atau disiplin yang terdefinisi dengan jelas. Ia tumbuh subur pada batas-batas dan pertemuan bermacam wacana yang sudah dilembagakan.
Kini peradaban kontemprorer kita yang diduduki ideologi kapitalisme, sebagai proses globalisasi, studi budaya membangun kritik global sebagai wujud pertahanan terhadap hegenomi barat. Maka kajian budaya membangun sebuah kerangka kerja yang berusaha menempatkan dan menemukan kembali kebudayaan dari kelompok-kelompok yang sampai sekarang dilupakan. Inilah awal diperhatikannya bentuk-bentuk dan sejarah perkembangan kebudayaan kelas pekerja, serta analisis bentuk-bentuk kotemporer kebudayaan populer dan media.
Bagian dari hasilnya, dan bagian dari pengolahan politik dan intelektual tahun 1960-an (yang ditandai dengan perkembangan yang cepat dan meluasnya strukturalisme, semiotik, marxisme, dan feminisme) studi budaya memasuki periode perkembangan teoritis dan intensif. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana kebudayaan dapat dijelaskan pada dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan ekonomi (produksi) dan politik (relasi sosial).
Studi budaya lahir berkat peranan Richard Hoggart dan Stuart Hall dari Universitas Birmingham, Inggris. Pada tahun 1970-an dan 1980-an Stuart Hall meningkatkan intensitas studi budaya di tingkatan sarjana maupun pasca sarjana. Solidnya Hall mempromosikan  studi ini dikalangan peneliti ilmu sosial , membuat ini lazim dikenal sebagai Birmingham Centre For Contemporary Cultural Studies atau disingkat dengan Birmingham Centre.
Kajian-kajian Birmingham Centre tentang subkultural dan kebudayaan marjinal sudah dimulai sejak akhir ’60-an. Sebagai contoh, Stuart Hall sudah menulis laporan penelitian “ The Hippies: An American Moment” pada tahun 1968. Peneliti Birmingham lainnya, Dick Hebdige, menulis penelitian ”Reggae, Rastas and Ruddies: Style and the Subversion of Form” pada tahun 1974, dan John Clarke pada tahun yang sama sudah membuat penelitian “The Skin head and the Study of  Youth Culture”. Tema-tema penelitian Birmingham Centre yang lain misalnya: youth culture, fashion, musik, budaya, olahraga, atau karya-karya fiksi.
Meskipun gema pengaruh Birmingham Centre masih terasa sampai sekarang, pusat-pusat kajian budaya yang baru pelan-pelan mulai menapakkan jejak kakinya. Beberapa yang bisa disebut disini antara lain adalah Scholl of Communication Studies di Westminster University yang menerbitkan seri terbitan Media, Culture dan Sosiety, pusat kajian budaya di Teeside University yang kemudian menerbitkan jurnal dan buku-buku dengan nama Theory, Culture and Sosiety, bahkan ada juga jurnal internasional, Cultural Studies, dengan group editor dari Inggris, Amerika, dan Australia, yang telah dipublikasikan oleh Methuen, kemudian oleh Routlege.
Ziauddin Sardar seperti yang dikutip www.wikipedia.org mencatat lima karakter studi budaya yaitu:
Cultural bertujuan meneliti subjek masalah di sekitar praktik budaya dan hubungannya terhadap kekuasaan. Misalnya studi subbudaya kehidupan kaum pekerja muda kulit putih di London di tengarai sebagai praktik sosial kaum muda dalam hubungannya dengan kelas dominan.
Memiliki tujuan obyektif dalam memahami budaya dan bentuk-bentuknya yang kompleks dan menganalisis konteks sosial dan olitik di mana budaya itu sendiri terwujud. Obyek studi dan posisinya adalah kritisisme dan aksi. Misalnya, tidak hanya peran peneliti studi budaya mempelajari obyek, tetapi ia menghubungkan studi ini ke arah yang lebih besar, yakni kancah politik progresif.
Berusaha membuka dan rekonsiliasi terhadap pengetahuan budaya dan bentuk obyektif pengetahuan. Memiliki komitmen pada evaluasi etnik masyarakat sosial dan aksi politis barisan radika.

G. Kajian Budaya (Cultural Studies) di Indonesia
Pada tahun-tahun pertama kemunculannya, jurnal Kalam (pertama terbit 1994) telah membawa atau menunjukkan semangat kebaruan yang menyegarkan bagi penelitian kebudayaan di Indonesia. Kalam menunjukkan bahwa kebudayaan bisa diselidiki dengan cara yang berbeda dengan yang ditunjukkan oleh Prisma—jurnal ilmu-ilmu sosial, ekonomi, dan politik yang sangat berpengaruh di kalangan intelektual Indonesia pada dekade ’70-an dan ’80-an (berhenti terbit pada 1999). Ciri utama dari penelitian-penelitian kebudayaan yang muncul di Prisma adalah menonjolnya pendekatan kuantitatif. (Misalnya teme Prisma tentang kebudayaan pop pada edisi Juni, 1977 dan Mei, 1987. Editor Prisma Aswab Mahasin bahkan menganggap kebudayaan pop tidaklah cukup serius untuk menjadi tema Prisma. Lihat juga kritik Hikmat Budiman atas Posisi Prisma ini (Budiman,2002: 147-152).
Di sini kebudayaan  dianggap sebagai suatu gejala sosial yang paling bisa didefinisikan dan diukur dengan tepat. Metode yang paling sering digunakan adalah survei dan analisis isi. Kalam muncul ketika perdebatan tentang pascamodernisme masih hangat. Berbeda dengan Prisma, penelitian-penelitian kebudayaan yang dimuat di Kalam ditandai dengan kuatnya kesadaran akan pluralisme kebudayaan dan keterkaitan kebudayaan dengan kekuasaan—suatu semangat yang dibawa oleh kajian budaya. Beberapa lain juga penting disebut di sini sebagai perintis penelitian kebudayaan yang berbeda haluan dengan Prisma: Horison (terbit pertama 1966) (Lihat uraian David T. Hill tentang Horison sebagai kepanjangan Orde Baru, Hill, 1993). Ulumul Qur’an (sudah tidak terbit lagi), Basis, Jurnal Seni Pertunjukkan dan Jurnal Perempuan.
Ada juga beberapa debat, diskusi, seminar atau konferensi yang menjadi pendorong tumbuhnya kajian budaya di Indonesia. Misalnya perdebatan sastra konstektual pada pertengahan ’80-an yang mulai melihat keterkaitan selera sastra dengan kelas (Heryanto: 1985), pidato Nirwan Dewanto pada Kongres Kebudayaan 1991 yang mengemukakan ide-ide tentang pluralisme kebudayaan dan identitas keindonesiaan, juga pidato Melani Budianta pada ulang tahun Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1995 yang memberikan pengantar tentang kajian budaya untuk pembaca Indonesia. Pada juli, 2000 The British Council juga menyelenggarakan “Workshop on Cultural Studies” di Surabaya.
Sayang sekali, belakangan ini Kalam tampaknya semakin mempersempit isinya hanya ke wilayah kesastraan. Dan cukup aneh, bahwa Ahmad Sahal, salah satu editor Kalam, malah bersikap menolak kajian budaya. Dalam Bentara—lembaran kebudayaan Kompas yang terbit sekali sebulan sejak 2000---ia mengatakan bahwa agenda politik kajian budaya bisa membawa akibat penyingkiran estetika. Menurutnya sifat politis kajian budaya hanyalah merupakan kelanjutan euforia sosial politik yang sedang melanda ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan seni (Sahal, 2000). Sikap ini kemudian juga diikuti oleh Agus Dermawan T. (2000) dan Jim Supangkat (2000). Jika kecurigaan  Sahal dan Agus Dermawan T. Pada agenda politik kajian budaya dijadikan pijakan untuk membela estetika idealis (Sahal) atau estetika murni (Dermawan T.), maka Supangkat beranggapan bahwa sifat kajian budaya yang plastis, “tidak disiplin”, dan eklektis dianggap akan membingungkan dan menyesatkan jika dipakai sebagai metode kritik seni.
Usaha lain yang cukup serius dalam penelitian kebudayaan juga dilakukan oleh Lembaga Studi Realino sejak awal ’90-an di Yogyakarta dengan merintis penerbitan seri monografi “Siasat Kebudayaan”. Penelitian-penelitian Realino melihat kebudayaan dari perspektif ekonomi-politik dan tampak sekali bahwa semua topik yang dibahas bersambungan kuat dengan masalah-masalah lokal.
Pada 1999, di Yogyakarta juga berdiri KUNCI Cultural Studies Center, KUNCI menerbitkan newsletter, kertas kerja, publikasi di internet, dan bergabung dengan jaringan kerja kajian budaya di luar Indonesia (termasuk berafiliasi dengan Inter-Asia Cultural Studies Center). Mungkin karena peredaran newsletter dan kertas kerjanya masih sangat terbatas, wacana kajian budaya yang secara eksplisit dikedepankan KUNCI baru lamat-lamat saja terdengar, dan sedikit sekali akademisi Indonesia yang memberikan respon. Pada 2001 di Jakarta juga berdiri Desantara, Institute for Cultural Studies.
Kajian media (media studies), bisa dikatakan sebagai kajian yang masuk dalam aliran utama penelitian kebudayaan di Indonesia, mengingat begitu banyak penelitian yang telah dibuat dalam bidang ini. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), Institut Studi Arus Informasi (ISAI) di Jakarta, dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) di Jakarta adalah contoh lembaga-lembaga yang mengkhususkan diri untuk melakukan kajian media.
Meskipun tentu saja masih bisa diperdebatkan apakah kajian-kajian media telah mereka lakukan bisa dimasukkan dalam kajian budaya atau tidak. Dan yang secara tradisional banyak melakukan kajian media juga adalah para mahasiswa Ilmu Komunikasi (S1 maupun S2) di universitas-universitas di Indonesia. Hal ini tidak selalu berarti setiap bentuk kajian media bisa dimasukkan dalam kajian budaya. Paradigma utama kajian media adalah analisis isi media yang bersifat kuantitatif dan selalu penuh dengan grafik dan data statistik. Banyak juga usaha untuk melakukan “pengukuran” dampak media pada pembaca atau pemirsa. Kajian semacam ini tentu tidak bisa dimasukkan dalam kajian budaya. Baru pada akhir ’90-an mulai muncul pendekatan ekonomi-politik dalam mengkaji media mulai dipakai, jenis-jenis analisis baru juga mewarnai kajian media, seperti semiotika, analisis wacana, atau audience research seperti yang dalam kajian budaya, misalnya, dilakukan oleh Ien Ang (1985).
Babak paling baru dari perkembangan kajian budaya di Indonesia saat ini adalah institusionalisasi kajian budaya pada lembaga pendidikan formal. Di Universitas Indonesia, sejak tahun 1998 mulai ada kelas Kajian Budaya Inggris, yang merupakan bagian integral dari mata kuliah pengkhususan yang harus diambil peserta S2 bidang Ilmu Susastra dengan pengutamaan Sastra Inggris. Pada tahun yang sama, di Universitas Indonesia (UI) juga terdapat kelas Pengantar Kajian Budaya yang harus diambil oleh mahasiswa S1 Sastra Inggris tahun terakhir. Di Universitas Petra, Surabaya, Jurusan Sastra Inggrisnya juga berencana menawarkan beberapa mata kuliah bebas di bidang kajian budaya ini. Mereka berencana menjadikan kajian budaya sebagai pengutamaan (major), bersama-sama dengan pengutamaan yang telah ada, yakni kesusastraan dan linguistik. Tampaknya apa yang terjadi di UI dan Universitas Petra, menunjukkan kesamaan dengan perkembangan kajian budaya  di Inggris. Di Inggris kelahiran kajian budaya mempunyai pertalian erat dengan Sastra Inggris (Harris, 1992; Inglis, 1993). Tahun 2000 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta membuka Program Pascasarjana Religi dan Budaya, yang mandiri---terpisah dari program studi lain. Pada tahun yang sama Universitas Udayana Bali juga membuka program Pascasarjana Kajian Budaya. Kajian budaya yang dikembangkan di Universitas Udayana lebih dekat dengan antropologi dan kajian turisme (tourisme studies).
Sifat kajian budaya selalu berkutat dengan masalah-masalah kekuasaan, kebutuhan akan perubahan dan representasi bagi kelompok-kelompok sosial marjinal. Dengan begitu kajian budaya merupakan sebentuk teori yang diproduksi oleh para pemikir yang menyadari bahwa pengetahuan teoritis adalah sebuah praktik politik. Dalam kajian budaya, produksi pengetahuan teoritis dipahami sebagai sebuah praktik politik, dengan dasar pemikiran bahwa pengetahuan tidak pernah objektif dan netral tetapi selalu terkait dengan masalah posisionalitas---tempat seseorang berbicara, kepada siapa, dan dengan tujuan apa. Karena itu kajian budaya bersifat lokal, bukan universal. Agenda-agenda politik kajian budaya sangat beragam, sesuai dengan permasalahan di masing-masing negara.

PENUTUP
1. Kesimpulan
Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala keterbatasan kelengkapan jasmani serta sumber-sumber alam yang ada di sekitar manusia tersebut. Hal ini yang menyebabkan adanya hubungan erat antar kebudayaan dengan masyarakat. Kebudayaan adalah seluruh pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, dan menjadi kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong terwujudnya perilaku. Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan.
Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau yang kotor dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral yang bersumber dari nilai-nilai moral tersebut dan yang merupakan pandangan hidup serta etos atau sistem etika yang dimiliki oleh setiap manusia.
Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model  kognitif  yang digunakan secara kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi, sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditinjaukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Melalui kajian budaya atau cultural studies dapat memudahkan kita untuk mengkaji lebih dalam tentang kebudayaan. Cultural studies adalah sebuah fenomena pascamodern dalam dunia akademis tentang mengaburnya batas-batas antar disiplin. Kajian budaya merupakan bangunan teori yang dihasilkan oleh pemikir yang menganggap produksi pengetahuan teoritis sebagai suatu praktik politik. Kajian budaya memegang argumen bahwa bahasa bukanlah sebuah medium yang netral tempat dibentuknya makna dan pengetahuan tentang sesuatu dunia objektif independen yang ada diluar bahasa.
Dengan banyaknya metode-metode yang bisa kita pilih untuk menggali sebuah kajian budaya akan memudahkan kita dalam belajar, meskipun ada perdebatan tentang epistemologi. Namun secara keseluruhan, kajian budaya lebih menyukai memadukan metode-metode kualitatif dengan perhatiannya pada makna kebudayaan. Dan bahkan kita dapat menggunakan metode analisis atau observasi.
Dengan wilayah garap kajian budaya yang sangat luas, maka dapat disimpulkan bahwa kajian budaya bukanlah bangunan pengetahuan yang netral, bahkan menganggap bahwa produksi bangunan pengetahuan adalah tindakan politik.
Medan minat kajian budaya sangat beragam dan menarik untuk diperbincangkan. Dalam kajian budaya, seks dan gender sebagai konstruksi-konstruksi sosial yang secara instrinsik terimplikasi dalam persoalan-persoalan representasi. Seks dan gender merupakan persoalan kultural ketimbang alam. Kajian budaya juga menaruh perhatian pada konstruksi ideologis program-program televisi, seperti versi-versi hegemonik berita dunia yang menyingkirkan prespektif-prespektif alternatif.
Studi budaya berkembang pada abad ke 20. Kajian budaya membangun sebuah kerangka kerja yang berusaha menempatkan dan menemukan kembali kebudayaan dari kelompok-kelompok yang sampai sekarang dilupakan. Studi budaya memasuki periode pekembangan teoritis yang intensif, tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana kebudayaan (produksi sosial makna dan kesadaran) dapat dijelaskan dalam dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan ekonomi (produksi) dan politik (relasi sosial).
Cultural bertujuan meneliti subjek masalah disekitar praktik budaya dan hubungannya terhadap kekuasaan. Memiliki tujuan objektif dalam memahami kebudayaan dan bentuk-bentuknya yang kompleks dan menganalisis konteks sosial dan politik dimana budaya itu sendiri terwujud.
Kajian budaya di Indonesia pada tahun-tahun pertama kemunculannya telah membawa dan menunjukkan semangat kebaruan dan menyejukkan bagi para peneliti kebudayaan di Indonesia yaitu dengan menunjukkan bahwa kebudayaan bisa diselidiki dengan cara yang beda melalui ilmu-ilmu sosial, ekonomi, dan politik yang sangat berpengaruh dalam kalangan intelektual Indonesia pada dekade ’70-an dan’80-an.
2.  Saran – saran
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan gambaran dan menambah wawasan kita tentang Kajian Budaya serta perkembangannya dari waktu ke waktu, lebih jauhnya penyusun berharap dengan memahami kebudayaan  kita semua dapat menyikapi segala kemajuan dan perkembangannya sehingga dapat berdampak positif bagi kehidupan kita semua.

DAFTAR PUSTAKA
Brata, Nugroho T. 2007. Antropologi untuk SMA dan MA Kelas XI. Jakarta: Esis.
Haryanto, Triyadi. 2012. Antropologi untuk Kelas XII SMA dan MA. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Mujianto, Yan dan Zaim El Mubarok dan Sunahrowi. 2010. Pengantar Ilmu Budaya. Yogyakarta: Pelangi Publishing.
www.sosbud.compasiana.com
www.equshay.wordpress.com
www.liberty-rhosa.blogspot.com
www.wikipedia.org
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.